Breaking News
Loading...
Wednesday, November 13, 2013

Info Post



            Pergolakan mahasiswa menyoal UU no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU Dikti) masih terjadi dan dilakukan oleh berbagai mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri. Seperti aksi mendukung pencabutan UU tersebut yang digelar Maret lalu oleh beberapa mahasiswa Universitas Andalas.
            Berbagai pergolakan lainnya dilakukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP) yang turut memasukkan gugatan baru terhadap UU Dikti. Bahkan BEM UI, PPUI (Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia), dan bersama KNP sedang merencanakan sebuah gerakan untuk melakukan perlawanan dan melakukan judicial review terhadap UU Dikti.
            Sejak tahun 2000 UI diubah statusnya dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Perubahan itu terjadi pula di beberapa PTN. Pengalihan status itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.152 Tahun 2000. Sejak peraturan pemerintah tersebut diterbitkan,  UI belum menjalankannya secara konsisten. Akibatnya, ribuan pekerja UI memiliki status tidak jelas dan hak-haknya terancam. Soal status ketenagakerjaan ini, beberapa pekerja UI sudah melaporkannya ke Ombudsman Republik Indonesia.     
            Ironisnya, praktik-praktik yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi itu dilegitimasi oleh UU Dikti. Misalnya, untuk meraih gelar profesor, seorang dosen tetap berstatus non PNS disyaratkan harus memiliki masa kerja minimal 10 tahun. Sedangkan untuk dosen tetap berstatus PNS, syarat tersebut tidak ada. Hal tersebut akan menimbulkan diskriminasi terhadap  pekerja di berbagai institusi pendidikan tinggi.

            Status perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) membuat institusi pendidikan menjadi subyek hukum korporasi  yang dimungkinkan untuk dipailitkan. Padahal dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 37 tahun 2004 disebutkan bahwa BUMN dibidang kepentingan publik, pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Hal ini menunjukkan samarnya tujuan institusi pendidikan.
            Juga terdapat pandangan adanya  unsur-unsur komersialisasi terhadap UU Dikti. UU Dikti berpotensi besar menutup akses pendidikan tinggi bagi rakyat golongan ekonomi lemah. Minimnya peran negara dalam UU Dikti, menjadi celah bagi pengelola kampus untuk menaikan biaya pendidikan karena negara tidak dapat mencampuri urusan pengelolaan kampus, seperti melakukan pengawasan, karena posisi negara dalam UU Dikti tidak boleh ikut campur dalam mengelola universitas. Hal ini juga terjadi karena faktor berubahnya status berbagai PTN yang sebelumnya dikelola pemerintah menjadi otonomi kampus.
            Dalam pasal 76 ayat 2 pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu dalam menyelesaikan studinya adalah dengan beasiswa, pembebasan biaya pendidikan, dan pinjaman dana tanpa bunga yang harus dilunasi. Pinjaman lunak tersebut menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai pelepasan tanggung jawab negara. Juga, tidak cocok dilakukan di Indonesia yang notabene memiliki sedikit lapangan kerja dibanding luar negeri karena mahasiswa harus segera membayar hutang setelah lulus dan menimbulkan kemerosotan ekonomi. Dalam persoalan ini, terlihat betapa sulitnya memberlakukan sistem tata kelola pada institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
           
Sumber:
Artikel pada rubrik Laporan Utama berjudul  “UU Dikti : Sistem Otonomi Itu Belum Selesai” pada Majalah Suara Mahasiswa Edisi 29.

0 comments:

Post a Comment

Vlog @TifaniHayyu