Breaking News
Loading...
Wednesday, November 13, 2013

Info Post


       Ustadz adalah gelar yang berikan dinisbatkan masyarakat kepada orang yang memiliki kecakapan di bidang keagamaan, seperti keahlian terhadap ilmu tata bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, bayan, badi’, ma’ani, adab, matiq, kalam, serta ilmu agama yang mencukupi yang mencakup perilaku, ushul fikih, tafsir, dan hadist.  Istilah tersebut dibarengi dengan akhlak yang baik, keikhlasan, kesederhanaan, kharisma, dan perbuatan yang menjadi contoh dan teladan bagi umat. Seorang ustadz pastinya dijadikan suri tauladan yang baik bagi umat Islam dalam menghadapi dunia yang telah dan sedang mengglobal ini. Kelakuan, kesederhanaan, dan sifat yang baik sangat diperlukan umat saat ini karena banyak ujian dan rintangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu perlu banyak ustadz yang dapat menolong umat Islam menuju jalan yang lurus sesuai ajaran Islam.
            Dahulu, tatkala para ustadz melakukan dakwah keagamaan dengan ikhlas tanpa pamrih. Kini, di era dimana budaya barat mulai menguasai negeri ini, kondisi telah jauh berbeda. Dimana banyak masyarakat mempertanyakan soal pemasangan tarif ustadz. Kabarnya sejumlah ustadz memasang tarif jutaan untuk sekali berdakwah. Sinansari Encip, Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi MUI berkata bahwa ustadz tidak boleh memasang tarif. Konon beberapa masyarakat menilai patokan harga seorang ustadz yang selangit berhubungan dengan memperjualbelikan firman Tuhan. Meski, patokan harga bukan satu-satunya bukti bahwa seorang ustadz telah memperjualbelikan ayat Tuhan. Seharusnya, ustadz tidak memasang tarif selangit, dengan sewajarnya saja dan tidak memberatkan majelis atau siapapun yang ingin mengundangnya menjadi penceramah di acaranya. Karena pekerjaan ustadz seyogyanya memiliki misi untuk akhirat, agar umat menjadi lebih pengetahuannya akan agama dan membimbing umat ke jalan yang lurus
            Laiknya selebritas, fenomena ustadz seleb sudah cukup mengkhawatirkan. Ustadz seleb, sebutan bagi penceramah yang berlagak seperti selebritas di televisi. Seperti beberapa ustadz seleb yang menunjukkan perilaku yang kerap tidak mencerminkan teladan baik di televisi. Media pun ikut-ikut menyiarkan kehidupan pribadi ustadz seleb yang berorientasi hedonisme, misalnya sering membeli barang mewah, bahkan memamerkan gaya ‘taaruf’nya. Ustadz yang banyak muncul di televisi itu sebagian tak lagi mempertontonkan kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Padahal, hidup berfoya-foya untuk hal-hal tidak penting sangatlah buruk dan merupakan cermin egois, tidak memperdulikan orang lain yang hidup di gubuk renta, miskin, makan susah, pengangguran, musibah, dan masalah sosial lainnya. Perilaku juga mencerminkan buta mata dan buta hati akan persoalan tersebut. Hal tersebut sangat kurang pantas dan tidak layak.
            Seorang umat pun mengkritisi hal ini. Sebuah surat terbuka terpajang di dunia maya Oktober tahun lalu yang isinya mengkritisi kedekatan sang ustadz dengan seorang biduan, beberapa bulan sebelum ia menikah. Ia mengkritik tentang taaruf yang dilakukan ustadz tersebut, dan berkata bahwa berdua-duaan dengan lawan jenis dan bukan muhrimnya bukan taaruf. Karena taaruf itu menggunakan orang ketiga atau perantara untuk menjauhkan diri dari godaan setan dan fitnah.
            Para pemuka MUI pun berkata bahwa tidak ada yang namanya ustadz seleb. Pekerjaan sebagai ustadz bukan untuk dunia, melainkan akhirat. Sedangkan pekerjaan sebagai selebritis untuk dunia. Menurut mereka, kurang elok jika semua sisi kehidupan ustadz diberitakan. Pemberitaan tentang kehidupan seorang ustadz yang digembar-gemborkan di media massa kurang pantas karena dapat menjurus kearah gosip, pergunjingan dan sebagainya. Selain itu, juga tidak perlu dan kurang penting untuk diketahui masyarakat. Kecuali sisi kehidupan tersebut memiliki nilai-nilai yang menginspirasi dan memiliki hal-hal yang positif untuk cermin kehidupan kita.

            Sayangnya, yang terjadi sekarang, seorang ustadz yang sering muncul di televisi terkadang hanya memberikan materi yang dangkal, terlalu dasar, semua orang tahu, dan terkadang kurang mendidik  seperti gaya berceramah ustadz yang tidak perlu.  Bahkan ada yang menggunakan hadits dhaif atau lemah dalam dakwahnya. Entahlah mengapa, apakah faktor ketidaktahuan atau bagaimana. Hal ini tentunya sangat meresahkan karena bisa menimbulkan bid’ah. Karena seorang ustadz memiliki beban dan tanggung jawab yang besar, Karena jika membuat umat menyimpang, maka dia pula yang harus bertanggung jawab.
            Gelar itu sendiri sekarang tidak benar-benar dinisbatkan kepada orang yang benar-benar cakap dalam bidang keagamaan. Gelar ustadz kini begitu mudah diberikan kepada setiap orang. Bahkan seseorang yang mengajarkan Al-Qur’an sudah dipanggil ustadz.  Banyak umat yang awam, tidak mengerti bagaimana dan mengapa seseorang pantas dipanggil ustadz. Seorang ustadz memiliki tanggung jawab yang besar, maka seharusnya gelar ustadz tidak “dinisbahkan” secara mudahnya kepada seseorang. Gelar ustadz itu tidak sembarangan diberikan, hanya orang yang pantaslah yang berhak memberikan dan diberikan gelar ini. Maka gelar ini harus datang dari ustadz atau ahli ilmu agama lainnya, bukan dari masyarakat biasa, apalagi televisi. Maka janganlah kita menyebut seseorang ustadz, terkecuali ia memang diakui oleh ahli agama lainnya. Dan memang ia memiliki standar atau syarat yang memang menjadikannya pantas menjadi seorang ustadz. Banyak yang tidak mengetahui keburukan-keburukan nanti yang dihasilkan dari kekeliruan ini. Dengan sembarangannya seseorang menggelari seseorang dengan gelar ustadz maka ini akan merusak ilmu. Karena hal inu dapat mempengaruhi orang lain untuk menimba ilmu darinya padahal dia belum pantas untuk menjadi seorang ustadz.
            Asep Salahudin , Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya mengatakan bahwa yang menahbiskan seorang ustadz seleb sebagai ustadz bukan umat, melainkan televisi. Beliau melirik pada acara-acara televisi saat ini. Memang sekarang ini kebanyakan yang dicari untuk mengisi suatu acara adalah seorang ustadz yang memiliki inovasi baru, misalnya menggunakan sapaan yang unik kepada para umatnya, dan hal-hal baru lainnya. Dan kebanyakan pula, televisi mencari orang-orang yang diutamakan memiliki skill seperti ini untuk menjadi ‘ustadz’ di programnya. Mereka jarang mencari seorang yang benar-benar atau setidaknya mendekati ilmunya seorang ustadz, hanya karena mengejar rating atau keuntungan karena mereka mencari seorang yang bisa ceramah tentang hal-hal yang ringan, mudah dicerna, dan menghibur belaka. Hal inilah yang mendasari terjadinya fenomena ini.           
Sumber:
Opini berjudul “Selebritas” oleh Asep Salahudin pada Koran Kompas hari Sabtu, 31 Agustus 2013.

0 comments:

Post a Comment

Vlog @TifaniHayyu