Breaking News
Loading...
Wednesday, November 13, 2013

Info Post



            Kisah perjalanan bisnis keterampilan yang dikelola suami-istri Suwito Sudarmo (56) dan Erdawati Suwito (50) berawal dari menerima tempahan menjahit busana, sampai akhirnya memiliki begitu banyak bidang usaha, salah satunya memiliki yayasan sendiri.
            Selepas lulus dari STMN 1 Jambi tahun 1980-an, Suwito melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Akademi Teknik Medan (kini Universitas Medan Area). Sambil kuliah, dia bekerja sebagai pengawas bangunan pada kontraktor di Medan. Disinilah dia bertemu dengan Erdawati yang saat itu siswa kelas 2 SMA dan mengajar di sebuah SD di Jalan Mabar, Medan. Suwito dan Erdawati memiliki kesamaan yakni sama-sama suka bekerja keras, terbukti dengan mereka yang ketika bersekolah juga sambil bekerja.
            Erdawati meneruskan pendidikannya ke Fakultas Pertanian Universitas Medan Area dan mengajar sebagai guru di sejumlah SMA. Sore harinya, ia mengambil kursus menjahit, walau dia harus berpindah-pindah tempat kursus karena menurutnya banyak lembaga kursus yang hanya memberikan sertifikat dan tidak peduli pada kemampuan siswanya. Ia merasa kurang puas dengan lembaga kursus saat itu dilihat dari segi kualitas pendidikannya.
            Setelah menikah tahun 1989, Erdawati meninggalkan aktivitasnya sebagai guru dengan membuka usaha jahit di rumahnya, di Perumahan Simalingkar. Mulanya, Erdawati menggeluti bisnis menjahit tempahan busana wanita dari mulut ke mulut. Jadi, setelah Erdawati menjahit, kemudian pelanggan bercerita ke temannya. Akhirnya sang teman dari pelanggan tadi pun menjahit ke Erdawati juga.
            Dari hasil terima tempahan, Erdawati yang didukung Suwito Sudarmo sang suami, berpikir untuk membuat pelatihan keterampilan wanita, yaitu mendirikan LPP (Lembaga Pendidikan dan Pelatihan) Srikandi pada tahun 1997 untuk mencetak tenaga kerja terampil yang ditujukan untuk perempuan. Erdawati terinspirasi dengan beberapa kursus yang dahulu ia ikuti yang ia rasa kurang bagus dari segi kualitas pendidikannya. Ia bertekad membuat LPP yang peduli pada kemampuan srikandi-srikandinya, tidak hanya bermodal sertifikat yang berupa selembar kertas saja.
            Tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah tempat, awalnya di Perumahan Simalingkar, lalu daerah Sunggal Kanan Deli Serdang, juga daerah Kwala Bengkala. Dulu mereka tinggal di rumah tipe 21 yang terletak di gang kecil, mobil tidak bisa masuk. Dan jika ada pelanggan datang, mobilnya diparkir di ujung gang. Dan akhirnya mereka membeli tanah dan membangun rumah yang cukup besar di  Jalan Pintu Air IV Gang Keluarga No. 16, Kuala Bekala, Medan yang sekaligus merupakan lokasi LPP Srikandi. Di tempat tersebut, terdapat kegiatan jahit - menjahit busana wanita, bordir, sulaman tangan, desain motif sulaman border untuk bahan kebaya, taplak meja, menyulam, melukis kain, membuat rangkaian bunga, juga memasang payet hingga pengemasan produk dan juga manejemen pengelolaan usaha kecil diajarkan di rumahnya, dan sebagainya.
            Sebelumnya, mereka telah mendirikan CV Srikandi tahun 1994 untuk memenuhi permintaan pasar akan sandang yang semakin dibutuhkan pada saat itu. LPP Srikandi ini memiliki prinsip bahwa para muridnya tidak boleh bergantung kepada negara lain, misalnya bekerja di negeri orang. LPP Srikandi mengajarkan kemandirian, yakni setelah lulus mereka dapat langsung bekerja di CV Srikandi atau membuat usaha sendiri untuk mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan di Indonesia, khususnya daerah Sumatera Utara.
            Suwito berhenti bekerja sebagai kontraktor tahun 1997 dan memilih fokus mengembangkan Yayasan Srikandi. LPP Srikandi berada di bawah Yayasan Srikandi. Sementara CV Srikandi dipimpin Erdawati. Setelah ditangani Suwito, beberapa lembaga dari pemerintah, BUMN, juga swasta dan LSM bekerja sama dengan LPP Srikandi dengan melatih perempuan pinggiran dan korban bencana agar memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pelatihan dilakukan di kampung-kampung di daerah Sumut dan Aceh. Atas kegiatannya itu, mereka berkesempatan studi banding sampai ke Malaysia, Hongkong, dan Australia. Suwito telah membuat Yayasan Srikandi semakin maju.
            Erdawati senantiasa penuh kesabaran dan bersikap lemah lembut ke semua murid-muridnya. Erdawati yang saat ini sudah melahirkan ribuan Srikandi yang siap pakai di beberapa daerah dan tersebar di Sumatera bagian utara. Ribuan srikandi tersebut diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja di daerahnya dengan membuka usaha bermodal keahlian yang dimiliki. Erdawati juga senantiasa menanamkan sikap kedisiplinan ke murid-muridnya dengan: “sedikit bicara, banyak bekerja”. Karena pada saat kita bicara pun bisa sambil bekerja. Dan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan serta kesabaran ini bisa dilakukan di rumah.
            Materi yang disajikan pun makin lama kian bertambah. Untuk semua materi keterampilan yang diajarkan, Erdawati berusaha keras menimba ilmu hingga ke beberapa negara luar, termasuk Singapura, Australia dan Malaysia. Dari belajar ke beberapa negara itu mereka banyak mendapat pengetahuan yang kemudian diturunkan ke srikandi-srikandi masa depan yang mereka latih di LPP Srikandi. LPP Srikandi saat ini memiliki 70 instruktur tata busana, tata boga, dan tata rias. Para instruktur tersebut juga alumni LPP Srikandi.
            Soal pemilihan nama Srikandi, memiliki misi dan cita-citanya sama dengan Kartini. Yang beda di mottonya, kalau Kartini dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”, sedang Srikandi mempunyai motto “Terang Benderang” dengan kepanjangan Setia, Ramah, Intelektual, Kreatif, Antusias, Nepotisme (untuk alumni), Disiplin dan juga Inovatif.
            Seiring perkembangan zaman, Yayasan Srikandi saat ini sudah memiliki peralatan canggih berupa mesin bordir elektrik menggunakan dinamo. Harganya pun sekitar 2 juta rupiah. Bagi siswa yang ingin langsung membuka usaha, tapi belum bisa membeli mesin, Srikandi juga menyediakan jasa sewa mesin dengan harga tertentu.
            Sedang untuk biaya belajar, Srikandi memasang tarif rata-rata 2,5 juta rupiah untuk masing-masing paket, sampai mahir. Khusus untuk paket pembuatan kebaya/wiron, biayanya mencapai 7,5 juta rupiah. Lontorso dan gaun pengantin, masing-masing 5,5 juta rupiah, dengan waktu belajar seharian penuh selama seminggu sampai 5 minggu hari kerja.
            Untuk pengembangan usaha ke depan Erdawati sudah punya daftar perencanaan, di antaranya mendirikan sekolah keterampilan perempuan yang dimulai dari jenjang sekolah menengah atas—dulu SKKP. Erdawati juga memiliki obsesi untuk masa depan yakni membesarkan nama Srikandi dengan mendirikan sekolah keterampilan perempuan yang nantinya dikelola oleh anak perempuan semata wayangnya, Intan Purwo Putri Widarti.

Sumber:
Artikel berjudul “Suwito – Erdawati: Keterampilan Perempuan untuk Kesejahteraan” pada Koran Kompas hari Sabtu, 31 Agustus 2013.
           

0 comments:

Post a Comment

Vlog @TifaniHayyu